Sabtu, 30 April 2011

Tradisi Jembul Tulakan



Upacara Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaaran dikenal dengan kepala desa dengan kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan oleh perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada masa sekarang masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar tercipta kehidupan yang tentram, bersih dari malapetaka dan segala kesulitan yang mebimpa penduduk. Disamping itu sekaligus untuk mengingatkan kepada petinggi agar selau bersih dalam segalatindakan dan langkahnya, tidak melnggar larangan-larangan agama, larangan pemerintah dan menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam memimpin masyarakat desa Tulakan.
Setelah pencucian kaki petinggi maka dilakukan selamtan sebagai lambing permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar desa Tulakan tetap selamat sentosa dan hasil bmi pada tahun mendatang melimpah ruah sehingga kehidupan penduduk Tulakan menjadi sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan. Acara mengitari Jembul dibanyak tiga kali merupakan inti dari proses Jembul Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul ddilakukan oleh petinggi diikuti oleh ledek atau penari tayup dan para perngakat desa. Prosesi ini dilakukan unuk menggmbarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat melakukan pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap bekiau sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya . Kesetiaan para nayoko projo ini ditunjukan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana ini pada masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar para pemimpin desa Tulakan selalu menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada staf perangkat desanya dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dengan pemantauan tersebut akan tercipte keadaan desa yang aman sentausa. Di samping memantau para pembantunya, pemimpim desa juga perlu memperhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun langsung mengenal masyarakat secara dekat dari perdudukuhan–perdukuhan yang ada, sehingga terciptalah kondisi di desa yamg tertib. Pemimpin benar-benar dapat bertindak mengayomi dan nganyemi dalam arti melindungi dan menciptakan ketentraman desa yang dipimpinnya. Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan Resikan yaitu kergiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat Desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kajahatan-kejahatan dari Desa Tulakan. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan, di dukuh Pejing juga melakukan sedekah bumi yang dusebut sedekah bumi Pejing. Hal ini berkaitan dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk selaku ketua pedukuhan sakit sehingga tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah Cabuk, anak-anaknya serta masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut diijinkan melakukan upacara jembul serndiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan ini terkabul, masyarakat di dukuh tersebut diijinkan melakukan sedekah bumi sendiri oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul. Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, diadakanlah upacara sedekah bumi Pejing. Diijinkanya Pajing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki Barata selaku Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga untuk tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Ki Barata Syaratnya adalah sedekah bumi di Kademangan Tulakan harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing. Waktu pelaksanaan sedekah bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan sedekah bumi Tulakan. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat Pejing masih bisa mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan dilakukan pada hari senin pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seimnggu kemudian yaitu senin Wage, Syarat utama lainnya adalah tidak adanya jembul dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkannya Tayub. Berbagai persyaraan telah disetujui oleh Mbah Cabuk dan kembalilah beliau ke Pejing untuk melakukan sedekah bumi sendiri. Tradisi Jembul Tulakan dilaksanakan setiap bulan Apit (Dzulqo'dah ) tepatnya pada hari senin sesudah upacara pada malam Jum’at Wage di Desa Sonder, hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di Desa Sonder pada waktu malam Jum’at Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para Nayoko Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan perlengkapan sang Ratu ). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh dukuh yang ada pada waktu itu dan menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarka hulu bekti. Prosesi upacra yang menggambarkan penyembahan jembul jembul oleh tledek (penari Tayub wanita) mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu sang nayoko menghadap sang ratu mendapat penghormatan dari dayang dayang atau pendamping. Tarian tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan para nayoko yang diwujudkan dengan jembul jembul.

sumber : tic jepara