Sabtu, 30 April 2011

Ratu Shima



Mungkin artikel yang saya buat ini belum 100% benar dengan sejarah masa lampau, namun kita patut mempelajari dengan seksama karna artikel ini saya rangkum dari berbagai sumber baik buku, majalah, dan berita lainnya yang saya baca lewat mesin pencari Google.
Kerajaan Kalingga/Ho-ling
Kerajaan Kalingga memiliki pertalian dengan Kerajaan Galuh. Putri dari Ratu Shima yang dikenal sebagai Putri Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang dikenal sebagai Mandiminyak – kemudian menjadi raja kedua di Kerajaan Galuh. Kerajaan galuh terletak di daerah banten.
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram. Ia kemudian menjadi pemuka dari sebuah dinasti atau wangsa terkenal sebagai Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno (Hindu).
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Raja Sanjaya juga menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Ia memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran .

1. Lokasi Kerajaan
Berita Cina berasal dari Dinasti T’ang yang menyebutkan bahwa letak Kerajaan Ho-ling berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur dan To-Po-Teng di sebelah Barat. Nama lain dari Holing adalah Cho-Po (Jawa), sehingga berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Holing terletak di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah.
J.L. Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya. Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang bernama daerah Keling.

2. Sumber Sejarah
I-Tsing menyebutkan bahwa seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya bernama Yunki pergi ke Holing tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran agama Budha. Ia juga menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu oleh pendeta agama Budha dari Holing yang bernama Jnanabhadra. Menurut keterangan dari Dinasti Sung, kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.

3. Kehidupan Politik
Berdasarkan berita Cina disebutkan bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Shima.
Pemerintahan Ratu Shima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Rakyat tunduk dan taat terhadap segala perintah Ratu Shima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.

4. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Ho-ling sudah teratur rapi. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Shima. Di samping ini juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat sangat menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu Shima.

5. Kehidupan Ekonomi
kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Ho-ling berkembang pesat. Masyarakat Kerajaan Ho-ling telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur.


Asal Mula Penyebutan Ho-ling
Nama Ho-ling sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal (420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul pada 820-856 M (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1984:93).

Sumber Sejarah
Nama Kerajaan Ho-ling sempat tercatat dalam kronik dinasti T’ang yang memerintah Cina pada 618-906 M. Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Ho-ling biasa makan tanpa menggunakan sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya saja, dan gemar minum semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar dari kayu. Raja mendiami istana yang bertingkat dua yang beratapkan daun palma. Raja duduk di atas bangku yang terbuat dari gading, memergunakan juga tikar yang terbuat dari kulit bambu. Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah bukit yang disebut Lang-pi-ya, yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50).
Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di sana selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37).

Letak Kerajaan Ho-ling
Ada dua sumber Cina yang berasal dari Dinasti T’ang memberikan arahan tentang Kerajaan Ho-ling. Kedua versi tersebut yaitu berita Cina Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu. Kedua versi tersebut memberitakan tentang Ho-ling sebagai berikut: “Ho-ling yang juga disebut She-p’o terletak di lautan selatan. Sebelah timurnya terletak P’o-li dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya ialah lautan dan disebelah utaranya ialah Chen-la” (Marwati & Nugroho, 1984:93).
Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di sana pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram (Soemono, 1973:36).
Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina. Prof. NJ Kroom berpendapat bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang memegang tampuk pemerintahan. Prof. NJ Kroom menunjuk bahwa letak Kerajaan Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah. (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50). Jika memadukan pendapat Prof. NJ. Kroom dan kronik dari dinasti T’ang yang menyebut bukit Lang-pi-ya untuk melihat laut, maka besar kemungkinan Ho-ling berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah bagian pesisir utara. Penyelidikan Drs. Pitono menyimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling kemungkinan terletak antara Pudakpayung-Salatiga (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:51).
Tentang Lang-pi-ya disebutkan oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di sana apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh di sebelah selatannya dan panjangnya dua kaki empat inci. Berdasarkan panjang bayangan yang jatuh dari tingginya gnomon tersebut, bisa dihitung bahwa letak Ho-ling berada pada 6° 8’ LU. Dilihat dari perkiraan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di Jawa. Akan tetapi penulis Hsin-tang-su tersebut telah membuat dua kekeliruan. Pertama, semestinya penghitungan bayangan dilakukan pada pertengan musin dingin. Kedua, jatuhnya bayangan ada di sebelah utaranya. Jika pembenaran ini bisa diterima, maka letak Ho-ling berada di 6 ° 8’ LS, jadi di pantai utara Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Koreksi tersebut dikuatkan dengan adanya seorang pendeta Budha bernama I-tsing yang menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di sana selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37). Dari bukti yang dibawa I-Tsing ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jawa dalam tahun 664 M terdapat sebuah kerajaan yang menganut ajaran murni Budhis dan menjadi populer. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah (kira-kira di wilayah Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara sekarang ini) (http://www.dhammacakka.or.id/). Bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal Jepara. (http://www.suaramerdeka.com/).

Tentang Ratu Shima (Pemerintahan)
Pada 674-675 M (tepatnya tahun 674 M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang ratu bernama Shima. Konon ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Shima ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa T’ien-pao tahun 742-755 M (Marwati & Nugroho, 1984:95).

Mata Pencaharian
Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil bumi berupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut.

Keagamaan
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra. (Marwati & Nugroho, 1984:51).

Hubungan Dengan Negeri Luar
Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakak tua, dan burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya (Marwati & Nugroho, 1984: 94).

Dari ringkasan dan sumber diatas saya hanya bisa menyimpulkan bahwa memang benar adanya sebuah kerajaan yang bernama Kalingga atau Ho-ling di tanah jawa, namun letak sebenarnya belum di ketahui, dari salah satu keterangan diatas menyebutkan bahwa di sekitar kerajaan terdapat sebuah bleduk, apakah ada hubungannya dengan bleduk kuwu di daerah Purwodadi yang tak terlalu jauh dari Jepara?, bila keterangan itu memang benar adanya saya yakin bahwa kerajaan Kalingga itu berada di antara lingkar muria dan salah satu bukti adanya kerajaan tersebut adalah ditemukannya sebuah mahkota seorang ratu oleh seorang petani di daerah tulakan donorojo ( pecahan dari kecamatan keling ) jepara dan adanya peninggalan berupa dua candi di lereng muria tepatnya di desa tempur kecamatan keling jepara yaitu candi angin. Mari kawan kita ungkap bersama bahwa jepara adalah salah satu daerah peradaban kerjaan kuno di nusantara.

sumber : wikipedia